CERPEN : Gerobak Tua

google


Ibu adalah orang yang pertama kali mencintai kita apa adanya. Bahkan sejak di dalam kandungan pun, ia adalah orang pertama yang tulus menyayangi dan rela mengorbankan jiwa raganya agar anaknya tetap sehat dan selamat sampai nantinya lahir ke dunia.
Setelah anaknya lahir, kasih sayang ibu pun bertambah dimulai dari erangan tangis ketika melihat kita keluar dari rahimnya. Ibu terlihat sangat bahagia seakan-akan ia telah melupakan rasa sakitnya ketika berjuang melawan maut demi melahirkan kita.
Seorang ibu tidak pernah menginginkan hadiah mewah dari anaknya. Bahagianya sang ibu datang dari hal-hal sederhana. Asal anaknya selalu menuruti nasihat dan membalas perlakuannya dengan baik, ia sudah senang. Kesenangan ini kadang tidak terlihat langsung di wajahnya, tetapi terukir dengan indah di hatinya.
Saat ia sedih pun, jarang langsung ia tunjukkan pada anak-anaknya. Seolah-olah ia selalu terlihat bahagia, padahal siapa yang tahu apa yang ia rasakan sebenarnya. Yang jelas, kebahagiaan anaknya adalah kebahagiaan dirinya juga, tak perlu harus sekeras apapun ia lakukan agar anaknya bisa tersenyum. 
 Meresakan suasana pagi hari nan sejuk sembari menikmati udara segar dan menyusuri  sudut Kota Nanas,  aku melangkahkan kaki untuk mencari sarapan pagi. Sesampai di warung nasi uduk  tempat biasa aku membeli sarapan pagi. Aku selalu melihat sesosok ibu  separuh  baya yang selalu melintas di depan warung nasi uduk dengan gerobak tua yang didorongnya.
  Lalu tanpa ragu aku memanggil sang ibu” Buukkkk...!!!, teriakku.
 Sesaat kemudian, walaupun pada awalnya ibu itu terlihat bingung, aku berhasil membuat ia menghampiriku.
 “Ibu sudah sarapan?” tanyaku. Aku langsung memesankan nasi uduk tiga bungkus untuk ibu dan kedua anaknya yang tertidur pulas di dalam gerobak tua tersebut. Raut wajahnya menunjukan kegembiraan yang luar biasa dan berkali-kali mengucapkan terima kasih,nak....terima kasih, nak”ucapnya. Dengan senyuman yang manis diwajahku. Aku pun menjawabnya “ya, bu sama-sama”.
Dengan wajah kecokelatan yang tersirat kelelahan tetapi terlihat ramah, sang ibu bercerita tentang suaminya yang telah meninggal karena sakit berkepanjangan yang tidak bisa disembuhkan karena mereka tidak mempunyai biaya untuk berobat ke dokter. Gerobak tua tersebut adalah harta satu-satunya peninggalan sang suami yang berprofesi sebagai pemulung. Malangnya, kini sang ibu harus sendirian berjuang keras untuk menghidupi dua anaknya yang selalu dibawa kemanapun ia pergi.
Setelah sarapan dan bercerita bersamaku, ibu separuh baya itu melanjutkan perjalanan dengan kedua anaknya sambil mendorong gerobak tua tersebut. Setiap hari sang ibu berkeliling ke perumahan untuk mencari sisa-sisa barang dengan gerobak tuanya, menyusuri jalan raya, sambil membawa dan menghibur dua anaknya yang masih kecil. Dari wajahnya, terlihat sosok yang  sangat tegar menjalani kerasnya hidup.
Lepas segala ambisi dan nafsu duniawi, jatuh tersungkur di hadapan ketulusan seorang hamba yang begitu tulus menjalani hidupnya. Dengan semua ujian hidup yang begitu berat, dia tetap tersenyum menghadapi kerasnya kehidupan, tak ada iri dan dengki terhadap sekelilingnya yang hidup jauh lebih beruntung, dan dengan ikhlas ia berkata, “Tuhan Maha Adil".
Ibu adalah orang yang pertama kali menyayangi kita, tidak peduli seberapa buruk perlakuan kita terhadapnya. Ibu adalah sosok paling tegar yang pernah ada, yang rela mengorbankan apapun demi menghidupi buah hatinya. Se-arogan apapun sosok ibu yang pernah ada, mereka tidak akan mungkin menjebloskan buah hatinya sendiri ke dalam jurang. Ia akan tulus berjuang melindungi sampai kapanpun, demi keselamatan dan kebaikan anaknya.
Dengan segala kerendahan hatinya, ibu adalah sosok pahlawan multitalenta sejati. Ia mampu bekerja, mendidik, dan mengurus apapun sekaligus. Karena di dalam setiap kesuksesan yang telah kita peroleh, tidak lupa terdapat peran besar dari usaha dan doa khidmat sang Ibu.

#SekolahMenulis

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Elemen-elemen dakwah

PUISI : Rindu Rumah

CERPEN : SEMANGKOK BAKSO