CERPEN : SEMANGKOK BAKSO
Waktu itu aku ingin pergi bersama teman-temanku untuk merayakan
ulang tahunnya. Biasa ketika hendak pergi aku selalu berpamitan sebelum
berangkat kepada kedua orang tuaku, ibu berpesan kepadaku agar tidak terlalu
pulang malam. Pagi itu Aku pun di jemput oleh teman-temanku untuk sekedar pergi
jalan-jalan menikmati suasana Ibu Kota.
Aku dan teman-temanku sangat menikmati jalan-jalan tersebut dan
pada akhirnya aku pun lupa waktu. Tidak
terasa matahari pun sudah terbenam dan gelapnya malam menyelimuti alam Ibu Kota.
Tepat pukul 20.30 aku baru sampai di
rumah. Ketika sampai di rumah, ayahku langsung menanyakan kenapa pulang larut
malam.
Rindi,” dari mana saja kamu?
ibumu tadi sudah berpesan jangan pulang malam-malam. Malah kamu pulangnya larut
malam”, kata Ayahku.
“Iya,Pak. Tadi keasyikan. Jadi aku lupa waktu, “ gemuruhku.
“Lain kali, jangan jalan-jalan lagi kalau pulang malam-malam
begini. Tidak baik bagi seorang pelajar sepertimu pulang malam itu!” nasihat
ayahku dengan nada tinggi.
“Ah...Bapak selalu bilang begitu kepadaku. Ini tidak baik, itu
tidak baik, kok...Bapak selalu mengekangku sih?” dengan nada memberontak.
Percakapan itu pun menjadi pertengkaran. ayahku berbicara dengan
nada tinggi. Aku pun tidak mau kalah. Ketika ayahku memberikan pengertian
dengan membentak dan dengan suara nada tinggi, aku pun membela diri dengan nada
tinggi. Akhirnya rumah menjadi terasa ramai sekali.
Sambil berjalan dengan langkah tergesa-gesa, aku keluar rumah.
Dengan membanting pintu rumah. Tanpa berpikir panjang apa pun, aku langsung
pergi dengan mengendarai sepeda motor
yang masih terpakir di depan teras rumah dan terus berjalan tanpa tujuan. Tibalah aku di
depan warung bakso “ Pak Ahmad” .
Ketika sampai di warung bakso tersebut, aku merasa perutku sangat
lapar. Terakhir kali makan, pagi tadi sebelum berangkat jalan-jalan bersam
teman-temanku. Karena perut mulai lapar dan perut mulai keroncongan, aku
mendekati warung bakso tersebut. Aku baru sadar kalau ternyata aku tidak
membawa uang ke luar dari rumah.
Aku pun hanya berdiri di depan warung bakso sambil melihat orang
menikmati semangkok bakso. Aku hanya bisa menelan ludah sembari membayangkan
sedang menikmati semangkok bakso tersebut. Lama sekali rasanya aku berdiri di
depan warung bakso tersebut. Sementara itu, antrean pelanggan mulai sepi
sehingga penjual bakso itu bisa beristirah sejenak.
Penjual bakso tersebut ternyata memperhatikanku dari tadi yang
berdiri mematung di depan warungnya. Sementara itu, aku hanya bisa menelan
ludah melihat beberapa pelanggan di dalam warung sedang menikmati semangkok
bakso.
Karena merasa heran melihatku mematung di depan warunnya, si
penjual bakso itu pun menyapa ku.
“ Nak, ada apa? Mau makan bakso?” tanya si penjual membuyarkan
lamunanku.
“Ehmm...tidak kok, aku tidak mau makan,” jawabku agak kaget
“kenapa berdiri disitu? Kamu lapar?” tanya pejual itu lagi
kepadaku.
“Iya, aku lapar. Tapi aku nggak punya uang untuk membeli
bakso,” jawabku lemas.
“Masuklah, duduklah disini! Saya akan memberikanmu semangkok bakso
biar kamu bisa makan!” suruh si penjual.
“Oh...nggak usah. Terima kasih. Aku nggak punya uang
pak, jadi aku nggak mau makan,” jawabku.
“Nggak apa-apa. Duduklah di sini! Anggap saja saya yang
mentraktir” tawar si penjual.
“Baiklah kalau begitu,” dengan nada malu-malu.
Aku pun masuk dengan malu-malu. Aku duduk di kursi dekat si penjual
yang sedang menyiapkan semangkok bakso untukku.
Tidak berselang lama, semangkok bakso pun jadi. Si penjual itu pun
menghidangkan bakso tersebut kepadaku yang memang sudah dari tadi aku kelaparan. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyantap
semangkok bakso itu dengan lahap.
Setelah beberpa suapan, aku pun menangis. Melihat aku menangis, si
penjual bakso itu pun mendatangi tempat dudukku.
“Mengapa kamu menangis, Nak?” tanya si penjual.
“ Aku bingung dengan kehidupan ini, pak. Bapak yang belum
mengenalku, sudah begitu baik kepadaku. Padahal, Bapak tidak tahu bagaimana
sikap dan tabiatku,” jawabku sambil sesenggukan.” Apa bapak tidak curiga
terhadapku?”
“Saya hanya melihatmu kelaparan di depan warung saya, Nak. saya
merasa kasihan. Itu saja,” kata si
penjual bakso sambil tersenyum kepadaku.
“Terimakasih, pak. Bapak memang baik. Berbeda dengan orang tuaku.
Tadi aku bertengkar dengan ayahku. Ia memarah-marahiku sehingga aku pergi dari
rumah.
“Terus, kamu sampai di sini?” tanya si penjual.
“Iya, Pak. Aku berjalan hingga sampai ke tempat ini dan aku
kelaparan. Bapak pun memberi semangkok bakso untukku.”
“Oh...begitu,” gumam penjual sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“ Iya, Pak. Mereka sangat mengenalku, tetapi malah memarah-marahiku
sampai aku nggak tahan lagi di rumah.
Sementara bapak yang belum mengenalku, justru malah berbuat baik
kepadaku. Kabaikan bapak itu berkebalikan dengan ayahku. Ia suka marah-marah
kepadaku.”
“Si penjual bakso itu pun tersenyum,” sambil menepuk pundakku.
“Mengapa Bapak tersenyum?” tanyaku heran.
“Saya ini hanya memberi semangkok bakso kepadamu saja sudah kamu
anggap baik. Padahal, semangkok bakso ini Cuma satu porsi, harganya juga tidak
mahal. Dengan satu porsi itu, kamu menganggap saya sebagai orang baik. Akan
tetapi, orang tuamu telah memberikan kehidupan yang tidak hanya berupa
semangkok bakso. Orang tuamu telah memberimu banyak yang jika dihitung itu
jauh lebih banyak dari pada semangkok bakso yang saya berikan ini. Mengapa
kamu tidak menyadari kebaikan meraka?” kata si penjual itu menasehatiku.
Aku pun terdiam sejenak mendengarkan nasihat si penjual bakso itu.
Aku lalai betapa tidak aku menganggap kebaikan yang meraka berikan kepadaku. Padahal, orang tuaku
telah banyak memberikan banyak hal.
“Habiskan dulu baksomu! Setelah itu, pulanglah! Minta maaf kepada
ayahmu”! lanjut si penjual bakso.
Aku pun langsung menghabiskan semangkok bakso tersebut dan
berpamitan kepada si penjual sembari mengucapkan terimakasih. Setelah itu, aku
langsung pulang ke rumah. Aku ingin menemui ayah dan ibuku untuk meminta maaf
kepada mereka.
Dengan langkah yang cepat, aku langsung menaiki motorku berjalan
menyusuri jalan pulang untuk segera bertemu dengan sang ayah dan ibu. Sambil
berurai air mata yang mengalir di pipiku, aku terus berjalan sehingga sampai di
rumah.
“Aku pun sadar bahwa apa yang ku lakukan terhadap ayahku adalah
sebuah kesalahan. Hanya sekedar pertengkaran ternyata telah membuatku melupakan
kebaikan kedua orang tuaku yang tidak
bisa di hitung seacara matematis.”
Setiba di rumah, ternyata ayah dan ibuku sudah menunggu di depan
teras rumah. Ibuku yang begitu tulus memberikan segalanya kepadaku menangis
setelah kepergianku. Tanpa berkata apa-apa, aku pun langsung memeluk erat tubuh
kedua orang tuaku. Kami pun bersama-sama menangis dalam sebuah pelukan dengan
penuh cinta.
Ada sebuah pepatah mengatakan:
” bahwa ada gajah di depan mata kita itu tidak nampak karena
bentuk gajak itu terlalu besar dan
menutupi pandangan mata. Akan tetapi, ketika ada kutu yang kecil jauh di
seberang sana, kita justru bisa
melihatnya”.
Sama halnya dengan orang tua yang sangat baik kepada kita, kita
malah tidak menganggap kebaikannya karena justru kebaikannya itu terlalu besar. Akan tetapi, jika orang lain
berbuat baik kepada kita meskipun itu kecil, malah kita mempersepsikan sebagai
sebuah kebaikan yang tampak nyata, padahal, kebaikan orang tua kepada kita itu
lebih banyak , lebih besar, dan lebih ikhlas. Tidak ada kebaikan seperti itu
dari orang lain. Melainkan seperti itu hanya di berikan oleh orang tua kepada
anaknya.
Sutan D. Al Murhif
Komentar
Posting Komentar