KARAKTER SYI’AH RAFIDHAH SEBAGAI GERAKAN POLITIK: TINJAUAN ANTISIPATIF
KARAKTER SYI’AH RAFIDHAH SEBAGAI
GERAKAN POLITIK: TINJAUAN ANTISIPATIF
A.
LAHIRNYA GERAKAN SYI’AH RAFIDHAH
Ibn
Al Murtadha (wafat 1339 M), seorang imam dari Syi’ah al Zaidiyah berpendapat
bahwa asal kepercayaan syi’ah adalah dari Ibn saba’ karena dialah yang
menciptakan pendapat tentang adanya nash mengenai imamah. Sedangkan Ihsan Ilahi Zhahir berkata bahwa ujud
Abdullah ibn saba’ itu telah diakui oleh para ulama besar syi’ah mutaakhirim,
antara lain: al Muzaffari di dalam kitab “Tariikhul Syi’ah”, pemuka mereka Said
Muhsin al Amin dalam Mausu’ahnya dan banyak yang lainnya (Ahmazun, Muhammad,
1994: halaman 200)
Faham
saba’iyah dianggap menjadi slah satu sebab, dari beberapa yang lain, yang
melatar-belakangi terjadinya fitnaul kubro yang pertama, yakni terbunuhnya
Khalifah Utsman ibn ‘Affan. Ibnu al Atsir sependapat dengan Ath Thabary yang
mengemukakan cerita-cerita tentang Ibn Saba’. Al Malqi berkata: “pada tahun 33
H ada sekumpulan orang yang kasak kusuk mengenai masalah Utsman RA. diantar
mereka terdapat Malik al Asytar, Abdullah ibn Saba’ yang disebut Ibn al Sauda
dan Saudan ibn Hamran. Sementara Adz Dzahabi menyebut Ibn Saba’ sebagai
penggerak kerusuhan di Mesir, penabur benih perpecahan dan permusuhan terhadap
para pemimpin dan terakhir terhadap Utsman ibn ‘Affan (Ahmazun, Muhammad, 1994:
halaman 215).
Faham
Saba’iyah juga dianggap sebagai salah satu sebab terjadinya fitnatu kubro yang
kedua, yakni pecahnya perang jamal antara pengikut Ali dan pengikut Thalhah dan
Zubair. Ahmazun mengutip pendapat Ibn Katsir dalam al Bidayah: “ketika Ali
berangkat dari satu sisi, sementara Thalhah dan Zubair dari sisi yang lain
untuk berdamai, dan sesudah Ali mengumumkan bahwa dirinya akan berangkat, dan
tidak boleh ikut satupun bersamanya dari orang-orang yang membantu pembunuhan
Utsman, maka berkumpullah pimpinan-pimpinan Khawarij, seperti Asytar al
Nahkha’iy, Syuraih ibn ‘Auf, salim ibn Tsa’labah dan bersama mereka terdapat
pemimpin Saba’iyah, Abdullah ibn saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda itu.
Yakni memprovokasi terjadinya perang diantara dua lascar di malam hari”
(Ahmazun, Muhammad, 1994: halaman 414)
Fitnatul
kubro melahirkan berbagai aliran, diantaranya Syi’ah. Aliran Syi’ah memiliki
mainstream berupa kecintaan kepada Ahlul Bait. Mainstream itu kemudian
berkembang setahap demi setahap yang pada akhirnya menjadikan Syi’ah sebagai
sebuah mazhab atau aliran yang memiliki ajaran-ajaran tersendiri dalam bidang
teologi, fiqih, dan bidang lainnya (Ahmazun, Muhammad, 1994: halaman 501).
Penting untuk diutarakan disini Syia’ah yang pertama tidak pernah mencaci dan
mencerca para sahabat Nabi. Mereka tetap mendahulukan Abu Bakar dan Umar dari
pada Ali. Dalam hal ini Syaikh al Islam Ibn Taymiyah berkomentar : “ Syi’ah
yang terdahu, para pengikut Ali, tidak berselisih pendapat tentang keutamaan
Abu Bakar dan Umar. Yang mereka selisihkan adalah keutamaan Utsman dari pada
Ali. Pernyataan ini diakui sendiri oeh ulama-ulama besar Syi’ah” (Ahmazun,
Muhamamd, 1994: halaman 502).
Syi’ah
kemudia melangkah lebih jauh dengan memunculkan konsep-konsep berbahaya yang
ditandai dengan watak ekstrim, penolakan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar,
mencerca para sahabat Nabi, meyakini Ahlul Bait sebagai maksum, iman kepada kebangkitan
kembali para imam (ruj’ah) dan washiyat, serta keyakinan-keyakinan lainnya yang
tidak diakui Islam. Orang-orang Syi’ah yang mengikuti konsep-konsep itu
kemudian dinamakan Rafidhah (sesat). (Ahmazun, Muhammad, 1994: halaman
502-503).
B.
GERAKAN POLITIK SYI’AH SEPANJANG SEJARAH
Sebagai
aliran pemahaman keagamaan Syi’ah terpecah-pecah menjadi berbagai cabang yang
memiliki pengikutny sendiri. Tercatat ada dua belas imam yang dianggap menjadi
panutan utama dalam berbagai pemahaman, mulai dari Ali bin Abi Thalib (600-661
M), Hasan Bin Ali (625-669 M), Husain bin Ali (626-680 M), Ali bin Husain
(658-712 M), Muhammad al Baqir (677-732 M), Ja’far Ash Shadiq (702-765 M), Musa
al Kadhim (744-799 M), Ali ar Ridha (765-817 M), Muhamamd al Jawad (810-835 M),
Ali al Hadi (827-868 M), Hasan al Asykary (846-874 M), A Mahdi (868 M).
Pada
masa kekhlifahan Abbasiyah, tepatnya pada tahun 851 M, terjadi dekrit yang
dikeluarkan oleh Khalifah Al Mutawakki ( memerintah tahun 874-861 M) mengenai
aliran Syi’ah. Dekrit itu memerintahkan penghancuran seluruh bangunan dan
moment yang dimuliakan orang-orang Syi’ah, termasuk moment di karbala. Dekrit
tersebut mendapat tantangan dari kelompok Syi’ah sehingga menjadi sumber
ketegangan pada masa itu (Sou’yb, Josoef, sejarah Daulat Abbasiyah II, hal.14).
Pada
tahun 910 M, Amir Ubaidillah al Mahdi yang mengaku keturunan dari Ali bin Abi
Thalib dengan Fatimah Az Zahra mendirikan kerajaan Fatimiyah di wilayah
Maghribi. Kerajaannya semakin meluas ke seluruh wilayah Afrika Utara, termasuk
menaklukkan Mesir pada tahun 972 M. kemudian kerajaan ini mengumumkan kekhalifahan
pada masa kepemimpinan Al Muiz Lidinillah (berkuasa pada tahun 925-975 M).
khalifah Fathimiyah beraliran Syi’ah Ismailiyah, yakni paham Syi’ah yang
meyakini bahwa Ismail bin Ja’far (719-775 M) adalah imam ketujuh. Mayoritas
Syi’ah (Syiah Itsna Asyriyah) meyakini bahwa Musah bin Ja’fa (Musa Al Khadim)
–lah imam ketujuh setelah Ja’far ash Shadiq. Fatimiyah runtuh setelah
dihancurkan oleh Salahuddin Al Ayyubi pada tahun 1171 M.
Pada
masa pemerintahan Khalifah ar Radli billah (memerintah tahun 934-940 M)
Kekhalifahan Abbasiyah mengalami kemunduran yang luar biasa. Lembaga
kementrian (wizaraat) kemudian diubah
dengan lembaga Amirul Umara yang dipimpin oleh orang kuat secara militer.
Kekuasaan Amirul Umara seringkali melampau kekuasaan kekhalifahan sehingga
khalifah berada dalam pendiktean amirul umara. Ketika suatu saat Baghdad sedang
dilanda kekisruhan politik, akibat perbuatan jabatan amir al-umara antara
wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad
ibn Buwaihi yang berkedudukan di Ahwaz. Pemimpin itu dikabulkan. Ahmad dan
pasukannya tiba di Baghdad pada tahun 945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan
langsung diangkat menjadi amir
al-umara, penguasa politik Negara dengan gelar Mu’iz al Daulah.
Sejak
saat itu berlangsunglah kekuasaan Daulah Buwaihi yang beraliran syi’ah dalam
kekhalifahan Abbasiyah yang seratus tahun lebih (933-1056 M). Dinasti Buwaihi
dihancurkan oleh Dinasti Seljuk yang beraliran Sunni. Orang-orang Seljuk mendukung
Sepenuhnya pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad dan mendukung mazhabnya
yang Sunni. Saat itu kekhalifahan hampir saja runtuh tatkala berada di bawah
kekuasaan syi’ah Buwaihi serta pengaruh
syi’ah Bani Ubaidiyah/ Fatimiyah di Mesir (Ash Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya
Khalifah Utsmaniyah, halaman 17).
Kekuasaan saljuk bertahan hingga tahun 1128 M dengan jatuhnya wilayah
Turkistan ke tangan Bani Khawarizmi.
Dari
keturunan orang-orang Turkistan inilah kemudian muncul di bawah kepemimpinan
Sulaiman (meninggal tahun 1230 M). Di bawah kepemimpinan anaknya, Ortoghol,
kabilah ini semakin kuat sehingga akhirnya mampu mendirikan kerajaan besar pada
masa pemerintahan Utsman bin Ortoghol (lahir 1267 M). kerajaan ini mampu
bertahan dari serangan tentara Mongol Hulagu Khan yang sebelumnya telah mengncurkan
kekhalifahan Abbasiyah (1258 M). Kerajaan, yang kemudian mendeklarasikan diri
sebagai kekhalifahan setelah menaklukan Mesir pada tahun 1517 M (sebagai
riwayat menyebut Sultan Salim I telah menyebut dirinya Khilafah pada tahun 1514
M sebelum kajatuhan Mesir dan Syam.
Diwilayah
Iran, Irak, dan sekitarnya berdiri pula sebuah kerajaan besar yang eksis lebih
dari dua abad (1501-1736 M) yang disebut Daulah Syafawiyah yang beraliran
Syi’ah. Kerajaan ini bermula dari gerakan kesufian syeikh Safi Al-Din (1252-1334
M). Syeikh Safi al-Din Abdul Fath Is’haq Ardabili berasal dari Ardabil. Sebuah
kota di wilayah Azerbaijan Iran. Ia merupakan anak murid seorang imam sufi ia
itu syeikh Zahed Gilani (1216-1301 M ),
dari Lahijan. Safi al-Din kemudian mengganti ajaran sufi ini menjadi aliran
Syi’ah sebagai tanggapan terhadap serangan tentara Mongol di wilayah
Azerbaijan. Pada abad ke-15, Safawiyah mulai meluaskan pengaruh dan
kekuasaannya dalam bidang politik dan militer ke seluruh Iran dan berhasil
merebut seluruh Iran dari pemerintahan Timuriyah.
Konflik
anatar dinasti Utsmaniyah dengan Dinasti Safawiyah berlangsung selama dua abad
lebih dengan kemenangan dan kekalahan silih berganti diantara keduanya. Namun
demikian musuh-musuh kedua dinasti ini sangat banyak. Dinasti Utsmaniyah
menghadapi persekutuan Negara-negara Eropa, terutama di bagian baratnya, yang
membangkitkan perang Salib. Sedangkan dinasti Safawiyah harus berhadapan juga
dengan kerajaan Rusia di Utara dan kerajaan Mongol yang bangkit dibawah Timurlank di sebelah
selatan. Namun khalifah Utsmaniyah bertahan lebih lama dalam mengahadapi
berbagai tantangannya. Khalifah ini runtuh pada tahun 1924 M setelah menghadapi
berbagai gerakan penggerogotan baik dari ekstrenal dan internal.
C.
SYI’AH DI INDONESIA
Kapankah
interaksi kaum muslimin pertama dengan Indonesia? Banyak versi tentang hal ini.
Tentu saja, Indonesia yang istilahnya baru dikenal sekitar awal abad ke-20,
saat itu masih merupakan wilayah dengan sejumlah kerajaan di dalamnya. Menurut
rumusan yang dibuat sebagai hasil dari seminar Sejarah Masuknya Islam ke
Indonesia tanggal 17-20 Maret 1963 disebut : (1) Islam untuk pertama kalinya
telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad 7-8 M) dan langsung
dari Arab, (2) Daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera,
dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama
berada di Aceh, (3) Dalam proses pengislaman selanjutnya orang-orang Indonesia
aktif dan kuat ambil bagian, (4) Para mubaligh Islam yang pertama itu selain
sebagai penyiar Islam juga sebagai saudagar, (5) Penyiaran Islam di Indonesia
dilakukan secara damai, (6) Kedatangan Islam di Indonesia itu membawa
kecerdasan dan peradaban yang tinggi
dalam, membentuk kepribadian bangsa Indonesia (Zuhri, KH Saifuddin, 1981 :
176).
Keberadaab
negeri-negeri di nusantara telah dideteksi olah para Khilafah kaum muslimin
yang ditandai dengan adanya dating surat-surat yang mendakwahkan Islam di
negeri Kerajaan Sriwijaya. Terdapat surat menyurat antara Khilafah Muawiyyah
(602-680 M) dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (682-720 M) kepada Raja Sriwijaya.
Raja yang berkuasa di Sriwijaya adalah Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa pada
tahun 671-702 M dan kemudian digantikan oleh raja berikutnya yang bernama Sri
Indrawarman (berkuasa 702-728 M). Raja Sri Indrawarman pada tahun 718 M konon
meminta kepada Khalifah Umar bin Abdu Aziz untuk mengirim orang-orang (dai)
yang dapat menjelaskan ajaran agama Islam dengan segala hukum-hukumnya kepada
rakyat Sriwijaya. Beliau konon juga mengirim beberapa hadiah buat Khalifah.
Tentang siapa dai yang dikirim atau siapa yang pertama masuk Islam hanya
sedikit informasi yang diperoleh. Tetapi informasi di atas menandakan telah
terjadi interaksi antara orang-orang Indonesia saat itu dengan kaum muslimin
generasi awal.
Menganai
peran Syi’ah dalam proses islamisasi penduduk Indonesia juga terjadi silang
pendapat dan informasi. Salah satu informasi menyebut bahwa sebelum berdirinya
kesultanan Perlak telah berdiri kerajaan yang sederhana yang bernama kerajaan
Perlak. Raja yang berkuasa di kerjaan ini diberi gelar Meurah (kira-kira
artinya Maharaja) sekitar tahun 790 M sebuah kapal layar berlabuh membawa
seratus juru dakwah di Bandar perlak yang dipimpin oelh nahkoda Khalifah Al
Makmun (786-883 M). salah satu seorang juru dakwah tersebut adalah Ali Bin
Muhamamd Ja’far Shadiq yang beraliran Syi’ah. Konon Ali memberontak kepada
Khalifah dan mengalami kekalahan. Khalifah tidak memeberi hukuman yang berat
kepada Ali dan hanya memerintahkan untuk berdakwah ke luar negeri Arab. Oleh
karena itu Ali ikut rombongan dakwah yang dating ke Nusantara melalui Gujarat.
Ali
kemudian menikah dengan putri istana perlak. Dari pernikahan ini lahir putra
pertama yang kemudian kelak menjadi sultan pertama kesultanan Perlak, bernama
Syed Mulana Abdul Azis Syah bergelar Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis
Syah (memerintah 840-864 M). pada tahun 913 samapai 915 M terjadi konflik
(perang saudara) di kesultanan Perlak antara pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
dengan pengikut Syi’ah sehingga terjadi kekosongan kekuasaan. Sultan Ali
Mghayat Syah yang pada tahun 915 M dilantik sebagai sultan Perlak, namun hanya
bertahan sampai 918 M. terjadi lagi konflik antara Syi’ah dan Sunni yang kali
ini dimenangkan oleh kelompok Sunni. Sejak tahun 928 M berkuasalah sultan-sultan
yang beraliran Sunni sampai dengan tahun 983 M pada akhir masa pemerintahan
sultan Makhdum Alaiddin Malik Syah Johan Berdaulat. Terjadi konflik kembali
(ketiga kalinya) antara syi’ah dan Sunni selama 4 tahun yang berakhir
persetujun damai dengan membagi kerajaan menjadi dua bagian: perlak pesisir
dikuasai oleh syi’ah dan perlak perdalaman yang dikuasai oleh sunni.
Kesultanan
perlak pesisir diserang oleh kerajaan Budha Sriwijaya yang menyebabkan
kehancurannya pada tahun 986 M saat sultan Alaiddin Syed Maulana Syah wafat.
Kesultanan perlak perdalaman mengambil alih kekuasaan atas pesisir dan memimpin
perlawanan terhadap kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1006 M Sriwijaya mengundurkan
diri dari perperangan karena harus mengahadapi serangan-serangan darti kerajaan
Darmawangsa yang berpusat di pulau Jawa. Setelah peristiwa tersebut kesultanan
perlak dikuasai sepenuhnya oleh sultan-sultan beraliran sunni sampai 286 M
tahun lamanya. Setelah sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Azis Syah Johan
berdaulat wafat pada tahun 1292 M, kesultanan digabungkan dengan kesultanan
Samudra Pasai pada masa pemerintahan sultan Muhamamd Malik Al Zahir (berkuasa
1267-1326 M, para sultan Malik Al saleh (berkuasa 1267-1297 M). menurt Ibnu
Batutah yang mengunjungi kesultanan Samudra Pasai pada tahun 1346 M,
Sultan-sultan kerajaan itu beraliran sunni, mazhab Syafi’iy (lihat Darmawijaya,
2010 halaman 29-37).
Setelah
kerajaan Perlak tidak pernah terdengar lagi aktivitas politik syi’ah di
Indonesia yang bergerak sampai kepada level kerajaan. Kerajaan-kerajaan Islam
di seluruh Indonesia menganut aliran sunni pada umumnya. Semua dinamika yang
terjadi sebagian besar wilayah diwarnai oleh Konflik internal dan perseteruan
dengan kaum penjajah portugis, Belanda dan Inggris.
*****
Komentar
Posting Komentar